Kamis, 07 Agustus 2014

Balada Pesantren Kilat: Epilog (Di Masa Itu)

Kaki itu melangkah dengan cepat. Hujan yang mulai membasahi tubuhnya tidak menjadi penghalang baginya. Jam menunjukkan pukul 5.38 petang.

Bentar lagi maghrib, batinnya.

Dia berjalan semakin cepat, tidak memperdulikan cipratan-cipratan air yang mulai mengotori celananya akibat ulahnya itu. Waktunya tinggal dua menit sebelum bis yang akan ia tumpangi pergi. Sedangkan bis selanjutnya baru datang 20 menit lagi.

Akhirnya dia berhasil masuk tepat sebelum pintu bis ditutup. Suasana bis sangat mendukung cuaca petang itu. Dingin, sepi, dan agak gelap. Penerangan di bis ini agak buruk rupanya. Lelaki itu memilih duduk di dekat jendela yang menghadap ke jalan raya. Pikirannya melayang, jauh menerawang kejadian masa itu.

Masa ketika dia akan melanjutkan studinya ke Madinah...

Masa dimana ia mengabdi di Pondok tercintanya...

Masa ketika dia bertemu dengan orang itu..

Ah, masa itu, pikir Darma.

"Kamu tahu? Saya sangat ingin membahagiakan orang yang saya sangat sayangi dengan cara saya sendiri... Tapi yang saya takutkan, orang itu menilai sebaliknya. Saya takut mengecewakan dia."

"Kalau boleh tahu, orang itu siapa, Ustadz?"

"Ibu."

"Saya cuma berharap, semoga dia sabar menunggu saya".

Memang dia tidak salah waktu itu. Ibu. Bukan ibu tiri bukan ibu susuan. Bukan pula ibu kandungnya, mengingat dia sudah kehilangan ibunya saat dia berumur 4 tahun. Tidak. Yang dia maksudkan adalah ibu dari anak-anaknya kelak.

Istrinya kelak.

Dan entah mengapa, dia merasa sangat yakin bahwa lawan bicaranya waktu itu adalah wanita yang kelak akan menjadi ibu bagi anak-anaknya.

"Ustadz?"

"Hm?"

"Sukses ya, Tadz. Semoga Ustadz selalu berada di bawah lindungan-Nya."

Darma tertegun. Baru kali ini dia disemangati oleh seorang wanita. Wajahnya merah seketika. Pipinya merona bersemburat kemerahan. Lidahnya terlalu kelu untuk mengucapkan "Syukron". Dia tidak tahu harus berbuat apa.

Dan untuk yang kesekian kalinya, hening kembali.

Darma menghembuskan napasnya perlahan, berusaha menstabilkan detak jantungnya yang bergedup tidak karuan. Dia ingin segera mengakhiri ini semua. Tidak sepantasnya mereka berduaan di tempat sepi. Tempatnya di Pondok, lagi.

Darma menghembuskan napasnya lagi.

"Walaupun saya tidak tahu siapa nama kamu, tapi saya punya satu pesan buat kamu."

Sebelum mengatakannya, Darma menghembuskan napasnya kembali.

"Jangan pacaran, ya."

Kemudian dia melangkah pergi.

Dia berharap, sangat berharap, bahwa lawan bicaranya waktu itu dapat memahaminya... Karena diluar kesadaran Darma waktu itu, dia telah mengecewakannya.

Bagi Darma itu adalah masa dimana ia sendiripun tidak mengerti mengapa itu terjadi...

Bis berhenti di halte yang tidak jauh dari rumahnya. Badannya terlalu lemas untuk bangkit dan bergerak turun dari bis, tapi dia tahu kalau ingin cepat sampai rumah dia harus menggerakkan badannya meskipun itu harus dengan merangkak. Saking dinginnya udara diluar bis sampai-sampai Darma seperti merasakan tulangnya mulai membeku. Dalam hati ia berjanji akan mandi dengan air hangat begitu sesampainya di rumah.

Turun dari bis, tatapan Darma bertemu dengan seseorang yang berdiri tepat di depannya. Mereka hanya saling tatap, tanpa tahu harus berbuat apa. Suasana hening sejenak. Nyaris sama seperti kejadian di masa itu. Hanya saja, hening yang satu ini tidak sedingin hening di masa itu.

Darma merasa lebih hangat menatap mata wanita itu.

"Kamu, jemput aku?", tanya Darma tidak yakin.

"Ya iyalah, masa jemput supirnya", balasnya. Wanita itu tersenyum menatapnya. Darma turut tersenyum. "Pulang, yuk. Aku udah nyiapin air panas buat kamu mandi". Dibawah naungan payung, mereka berjalan pulang menuju rumah mereka.

Darma selalu berdoa, agar calon istrinya kelak dihindarkan dari segala macam perbuatan maksiat.

Sejak kejadian di masa itu, Adiba tidak pernah berpacaran hingga dia menikah dengan Darma.

Jumat, 01 Agustus 2014

Balada Pesantren Kilat: Anti-Klimaks

"Gini aja", Nami memulai percakapan ketika kami sedang menunggu saat berbuka puasa tiba. Itu adalah hari keempat kami berada di Ponpes As-Shahih, yang juga merupakan buka puasa terakhir kami di acara Pesantren Kilat. "Besok hari terakhir kita disini".

"Terus?", tanya Ziya.

"Biasanya sekolah kita tuh kasih sumbangan buat Ponpes ini."

"Terus?", tanya Anis.

"Lo semua ngerti maksud gue, kan?", Nami menaikkan sebelah alisnya.

Kami terdiam cukup lama.

"Semua murid nonton acara itu karena itu adalah agenda terakhir kita sebelum kita pulang", ucap Ziya.

"Dan gak cuma murid yang nonton penyerahan sumbangan itu."

"Tapi juga semua pengajar kita."

"Jadi menurut lo Nam..."

"Yap. Ngomong-ngomong, gue ada rencana buat kalian semua", belum sempat mengatakan rencananya, adzan maghrib sudah mendahuluinya.

Esok siangnya, kami berkumpul di lapangan basket Ponpes ini. Selama acara berlangsung, aku tak melihat kehadiran Ustadz itu barang sebayangan hidungnya. Ketika aku sedang mencari-cari, Ziya berbisik memanggilku.

"Psst, Adiba!", jarinya tertuju ke sesosok yang berjalan menuju kerumunan Asatidz. Orang itu benar-benar terlambat. Acara inti baru selesai dan dia baru datang. Tapi bagaimanapun, itu tidak berpengaruh banyak pada rencana kita. Hanya saja, keterlambatannya telah membuang waktuku untuk mencarinya ketika dia belum muncul.

Agenda terakhir selesai. Saatnya menjalankan rencana.

Satu kata untuk menggambarkan dia: C U E K. Atau setidaknya, begitulah pendapat teman-temanku yang pernah diajar olehnya. Aku berusaha membenarkan pernyataan ini tapi entah kenapa, hati kecilku berteriak menolaknya.

Dia bukan cuek, dia hanya tidak pernah mengambil pusing hal-hal yang ada di sekitarnya.

"Gue memperkirakan kalo itu Ustadz pasti bakal jadi pusat perhatian anak-anak cewek setelah agenda terakhir kita selesai."

"Iya. Kan fansnya dia udah rencana bakal ngejar dia setelah acara selesai", timpal Ziya membenarkan.

"Jadi rencana gue adalah..."

"MOHON MAAF LAHIR BATIN YA SEMUAAA!!", Anis berteriak kencang sekali. Kalau soal mencari perhatian dan kehebohan memang dia ratunya. Nami memeluk teman-teman yang notabene adalah fans Ustadz itu. Dia menangis bombay di depan semua, bahkan teman-teman cowok kami. Dan itu berhasil menarik perhatian teman-teman kami! Mereka seperti tidak tega melihat Nami yang menangis di tengah-tengah mereka di hadapan para cowok, lagi. Ditambah tindakannya itu menarik perhatian para guru sekolah kami. Lalu aku lihat Ziya membentuk barisan dengan beberapa teman yang lainnya yang kemudian diikuti oleh teman-teman yang lain sehingga membentuk sebuah barisan yang panjang mengular.

Sedangkan aku? Aku memastikan bahwa tak ada yang kabur dari acara halal bi halal dadakan itu untuk bertemu dia. Aku langsung mencari-carinya begitu agenda terakhir selesai. Aku berjalan cepat mengikutinya agar tidak ada yang mengetahui kepergianku. Aku berada beberapa meter jauhnya di belakangnya. Hingga sampailah kami di taman masjid, dia menghentikan langkahnya.

Dia terdiam agak lama. Aku bersembunyi di belakang pohon.

"Untuk ukuran seorang penguntit, kamu lumayan juga."

Jantungku berhenti berdetak seketika. Dia mengetahui keberadaanku.

"Kalo ada yang mau diomongin, ngomong aja." Aku menarik nafasku dalam-dalam. Ingat rencana yang sudah disusun Nami...

Aku menghembuskan nafasku perlahan. "Saya cuma mau minta maaf atas kejadian yang kemarin, Tadz..."

"Saya udah memaafkan kamu kok", ucapnya. Suara itu terdengar tenang, dan dekat sekali.

Tentu saja kalau bukan karena dia ada di sampingku sekarang. Kalian tidak akan pernah bisa membayangkan bagaimana rasanya jantung dan perut berdentum bersamaan. Lututku lemas seketika.

"Ada lagi yang mau diomongin?"

"Ng... Nggak ada Tadz."

Lengang sejenak.

"Ng... Sebenernya ada sih", akuku pada akhirnya. Dia menolehkan kepalanya ke arahku. Membuat mukaku semakin merah seperti kepiting rebus.

Tapi belum sempat aku mengutarakannya, dia sudah memotongnya. "Kamu tahu? Saya sangat ingin membahagiakan orang yang saya sangat sayangi dengan cara saya sendiri". Ada jeda agak lama setelahnya. "Tapi yang saya takutkan, orang itu menilai sebaliknya. Saya takut mengecewakan dia."

Aku mengumpulkan seluruh keberanianku untuk menanyakan hal ini. "Kalau boleh tahu, orang itu siapa Ustadz?", dalam hati aku setengah berharap bahwa orang yang dimaksud itu adalah aku.

"Ibu."

Hatiku sedikit retak mendengarnya.

"Saya cuma berharap, semoga dia sabar menunggu saya". Kini giliranku yang menoleh.

"Memang kenapa, Tadz?"

"Ini bulan terakhir saya ada disini. Saya akan melanjutkan studi saya ke Kota Madinah. Beberapa bulan yang lalu saya mengikuti tesnya dan saya berhasil lolos hingga tahap final. Jadi bisa dibilang ini saat-saat terakhir saya mengabdi di Pondok ini".

Aku tertegun mendengarnya. Berarti ini akan menjadi kali terakhirku melihatnya.

"Ustadz?"

"Hm?"

"Sukses ya, Tadz. Semoga Ustadz selalu berada di bawah lindungan-Nya."

Untuk yang kesekian kalinya, hening kembali.

"Walaupun saya tidak tahu siapa nama kamu, tapi saya punya satu pesan buat kamu." Jeda sejenak. "Jangan pacaran, ya." Dia tersenyum lalu melangkah pergi menuju asrama putra.

Banyak pertanyaan yang berkelebat di kepalaku selepas kepergiannya. Kenapa sikapnya jauh berbeda dari yang dikatakan teman-temanku, kenapa dia membiarkanku mengikutinya, juga termasuk curcol singkatnya itu. Kenapa dia mau membagi ceritanya kepada orang yang bahkan tidak dia tahu namanya?

Aku terus menatapnya hingga bayangannya tidak terlihat lagi. Aku tak bisa mengalihkan mataku dari jejaknya berjalan. Terlalu banyak penyesalan di dalam diri ini. Terlalu banyak hal yang tak terucapkan dari mulut ini. Terlalu banyak air mata yang tertampung di kelopak ini. Aku tak mampu membendungnya. Aku hanya membiarkannya tumpah membasahi wajahku.

"Nama saya Adiba, Ustadz. Dan saya menyukai Ustadz."