Kamis, 07 Agustus 2014

Balada Pesantren Kilat: Epilog (Di Masa Itu)

Kaki itu melangkah dengan cepat. Hujan yang mulai membasahi tubuhnya tidak menjadi penghalang baginya. Jam menunjukkan pukul 5.38 petang.

Bentar lagi maghrib, batinnya.

Dia berjalan semakin cepat, tidak memperdulikan cipratan-cipratan air yang mulai mengotori celananya akibat ulahnya itu. Waktunya tinggal dua menit sebelum bis yang akan ia tumpangi pergi. Sedangkan bis selanjutnya baru datang 20 menit lagi.

Akhirnya dia berhasil masuk tepat sebelum pintu bis ditutup. Suasana bis sangat mendukung cuaca petang itu. Dingin, sepi, dan agak gelap. Penerangan di bis ini agak buruk rupanya. Lelaki itu memilih duduk di dekat jendela yang menghadap ke jalan raya. Pikirannya melayang, jauh menerawang kejadian masa itu.

Masa ketika dia akan melanjutkan studinya ke Madinah...

Masa dimana ia mengabdi di Pondok tercintanya...

Masa ketika dia bertemu dengan orang itu..

Ah, masa itu, pikir Darma.

"Kamu tahu? Saya sangat ingin membahagiakan orang yang saya sangat sayangi dengan cara saya sendiri... Tapi yang saya takutkan, orang itu menilai sebaliknya. Saya takut mengecewakan dia."

"Kalau boleh tahu, orang itu siapa, Ustadz?"

"Ibu."

"Saya cuma berharap, semoga dia sabar menunggu saya".

Memang dia tidak salah waktu itu. Ibu. Bukan ibu tiri bukan ibu susuan. Bukan pula ibu kandungnya, mengingat dia sudah kehilangan ibunya saat dia berumur 4 tahun. Tidak. Yang dia maksudkan adalah ibu dari anak-anaknya kelak.

Istrinya kelak.

Dan entah mengapa, dia merasa sangat yakin bahwa lawan bicaranya waktu itu adalah wanita yang kelak akan menjadi ibu bagi anak-anaknya.

"Ustadz?"

"Hm?"

"Sukses ya, Tadz. Semoga Ustadz selalu berada di bawah lindungan-Nya."

Darma tertegun. Baru kali ini dia disemangati oleh seorang wanita. Wajahnya merah seketika. Pipinya merona bersemburat kemerahan. Lidahnya terlalu kelu untuk mengucapkan "Syukron". Dia tidak tahu harus berbuat apa.

Dan untuk yang kesekian kalinya, hening kembali.

Darma menghembuskan napasnya perlahan, berusaha menstabilkan detak jantungnya yang bergedup tidak karuan. Dia ingin segera mengakhiri ini semua. Tidak sepantasnya mereka berduaan di tempat sepi. Tempatnya di Pondok, lagi.

Darma menghembuskan napasnya lagi.

"Walaupun saya tidak tahu siapa nama kamu, tapi saya punya satu pesan buat kamu."

Sebelum mengatakannya, Darma menghembuskan napasnya kembali.

"Jangan pacaran, ya."

Kemudian dia melangkah pergi.

Dia berharap, sangat berharap, bahwa lawan bicaranya waktu itu dapat memahaminya... Karena diluar kesadaran Darma waktu itu, dia telah mengecewakannya.

Bagi Darma itu adalah masa dimana ia sendiripun tidak mengerti mengapa itu terjadi...

Bis berhenti di halte yang tidak jauh dari rumahnya. Badannya terlalu lemas untuk bangkit dan bergerak turun dari bis, tapi dia tahu kalau ingin cepat sampai rumah dia harus menggerakkan badannya meskipun itu harus dengan merangkak. Saking dinginnya udara diluar bis sampai-sampai Darma seperti merasakan tulangnya mulai membeku. Dalam hati ia berjanji akan mandi dengan air hangat begitu sesampainya di rumah.

Turun dari bis, tatapan Darma bertemu dengan seseorang yang berdiri tepat di depannya. Mereka hanya saling tatap, tanpa tahu harus berbuat apa. Suasana hening sejenak. Nyaris sama seperti kejadian di masa itu. Hanya saja, hening yang satu ini tidak sedingin hening di masa itu.

Darma merasa lebih hangat menatap mata wanita itu.

"Kamu, jemput aku?", tanya Darma tidak yakin.

"Ya iyalah, masa jemput supirnya", balasnya. Wanita itu tersenyum menatapnya. Darma turut tersenyum. "Pulang, yuk. Aku udah nyiapin air panas buat kamu mandi". Dibawah naungan payung, mereka berjalan pulang menuju rumah mereka.

Darma selalu berdoa, agar calon istrinya kelak dihindarkan dari segala macam perbuatan maksiat.

Sejak kejadian di masa itu, Adiba tidak pernah berpacaran hingga dia menikah dengan Darma.

Jumat, 01 Agustus 2014

Balada Pesantren Kilat: Anti-Klimaks

"Gini aja", Nami memulai percakapan ketika kami sedang menunggu saat berbuka puasa tiba. Itu adalah hari keempat kami berada di Ponpes As-Shahih, yang juga merupakan buka puasa terakhir kami di acara Pesantren Kilat. "Besok hari terakhir kita disini".

"Terus?", tanya Ziya.

"Biasanya sekolah kita tuh kasih sumbangan buat Ponpes ini."

"Terus?", tanya Anis.

"Lo semua ngerti maksud gue, kan?", Nami menaikkan sebelah alisnya.

Kami terdiam cukup lama.

"Semua murid nonton acara itu karena itu adalah agenda terakhir kita sebelum kita pulang", ucap Ziya.

"Dan gak cuma murid yang nonton penyerahan sumbangan itu."

"Tapi juga semua pengajar kita."

"Jadi menurut lo Nam..."

"Yap. Ngomong-ngomong, gue ada rencana buat kalian semua", belum sempat mengatakan rencananya, adzan maghrib sudah mendahuluinya.

Esok siangnya, kami berkumpul di lapangan basket Ponpes ini. Selama acara berlangsung, aku tak melihat kehadiran Ustadz itu barang sebayangan hidungnya. Ketika aku sedang mencari-cari, Ziya berbisik memanggilku.

"Psst, Adiba!", jarinya tertuju ke sesosok yang berjalan menuju kerumunan Asatidz. Orang itu benar-benar terlambat. Acara inti baru selesai dan dia baru datang. Tapi bagaimanapun, itu tidak berpengaruh banyak pada rencana kita. Hanya saja, keterlambatannya telah membuang waktuku untuk mencarinya ketika dia belum muncul.

Agenda terakhir selesai. Saatnya menjalankan rencana.

Satu kata untuk menggambarkan dia: C U E K. Atau setidaknya, begitulah pendapat teman-temanku yang pernah diajar olehnya. Aku berusaha membenarkan pernyataan ini tapi entah kenapa, hati kecilku berteriak menolaknya.

Dia bukan cuek, dia hanya tidak pernah mengambil pusing hal-hal yang ada di sekitarnya.

"Gue memperkirakan kalo itu Ustadz pasti bakal jadi pusat perhatian anak-anak cewek setelah agenda terakhir kita selesai."

"Iya. Kan fansnya dia udah rencana bakal ngejar dia setelah acara selesai", timpal Ziya membenarkan.

"Jadi rencana gue adalah..."

"MOHON MAAF LAHIR BATIN YA SEMUAAA!!", Anis berteriak kencang sekali. Kalau soal mencari perhatian dan kehebohan memang dia ratunya. Nami memeluk teman-teman yang notabene adalah fans Ustadz itu. Dia menangis bombay di depan semua, bahkan teman-teman cowok kami. Dan itu berhasil menarik perhatian teman-teman kami! Mereka seperti tidak tega melihat Nami yang menangis di tengah-tengah mereka di hadapan para cowok, lagi. Ditambah tindakannya itu menarik perhatian para guru sekolah kami. Lalu aku lihat Ziya membentuk barisan dengan beberapa teman yang lainnya yang kemudian diikuti oleh teman-teman yang lain sehingga membentuk sebuah barisan yang panjang mengular.

Sedangkan aku? Aku memastikan bahwa tak ada yang kabur dari acara halal bi halal dadakan itu untuk bertemu dia. Aku langsung mencari-carinya begitu agenda terakhir selesai. Aku berjalan cepat mengikutinya agar tidak ada yang mengetahui kepergianku. Aku berada beberapa meter jauhnya di belakangnya. Hingga sampailah kami di taman masjid, dia menghentikan langkahnya.

Dia terdiam agak lama. Aku bersembunyi di belakang pohon.

"Untuk ukuran seorang penguntit, kamu lumayan juga."

Jantungku berhenti berdetak seketika. Dia mengetahui keberadaanku.

"Kalo ada yang mau diomongin, ngomong aja." Aku menarik nafasku dalam-dalam. Ingat rencana yang sudah disusun Nami...

Aku menghembuskan nafasku perlahan. "Saya cuma mau minta maaf atas kejadian yang kemarin, Tadz..."

"Saya udah memaafkan kamu kok", ucapnya. Suara itu terdengar tenang, dan dekat sekali.

Tentu saja kalau bukan karena dia ada di sampingku sekarang. Kalian tidak akan pernah bisa membayangkan bagaimana rasanya jantung dan perut berdentum bersamaan. Lututku lemas seketika.

"Ada lagi yang mau diomongin?"

"Ng... Nggak ada Tadz."

Lengang sejenak.

"Ng... Sebenernya ada sih", akuku pada akhirnya. Dia menolehkan kepalanya ke arahku. Membuat mukaku semakin merah seperti kepiting rebus.

Tapi belum sempat aku mengutarakannya, dia sudah memotongnya. "Kamu tahu? Saya sangat ingin membahagiakan orang yang saya sangat sayangi dengan cara saya sendiri". Ada jeda agak lama setelahnya. "Tapi yang saya takutkan, orang itu menilai sebaliknya. Saya takut mengecewakan dia."

Aku mengumpulkan seluruh keberanianku untuk menanyakan hal ini. "Kalau boleh tahu, orang itu siapa Ustadz?", dalam hati aku setengah berharap bahwa orang yang dimaksud itu adalah aku.

"Ibu."

Hatiku sedikit retak mendengarnya.

"Saya cuma berharap, semoga dia sabar menunggu saya". Kini giliranku yang menoleh.

"Memang kenapa, Tadz?"

"Ini bulan terakhir saya ada disini. Saya akan melanjutkan studi saya ke Kota Madinah. Beberapa bulan yang lalu saya mengikuti tesnya dan saya berhasil lolos hingga tahap final. Jadi bisa dibilang ini saat-saat terakhir saya mengabdi di Pondok ini".

Aku tertegun mendengarnya. Berarti ini akan menjadi kali terakhirku melihatnya.

"Ustadz?"

"Hm?"

"Sukses ya, Tadz. Semoga Ustadz selalu berada di bawah lindungan-Nya."

Untuk yang kesekian kalinya, hening kembali.

"Walaupun saya tidak tahu siapa nama kamu, tapi saya punya satu pesan buat kamu." Jeda sejenak. "Jangan pacaran, ya." Dia tersenyum lalu melangkah pergi menuju asrama putra.

Banyak pertanyaan yang berkelebat di kepalaku selepas kepergiannya. Kenapa sikapnya jauh berbeda dari yang dikatakan teman-temanku, kenapa dia membiarkanku mengikutinya, juga termasuk curcol singkatnya itu. Kenapa dia mau membagi ceritanya kepada orang yang bahkan tidak dia tahu namanya?

Aku terus menatapnya hingga bayangannya tidak terlihat lagi. Aku tak bisa mengalihkan mataku dari jejaknya berjalan. Terlalu banyak penyesalan di dalam diri ini. Terlalu banyak hal yang tak terucapkan dari mulut ini. Terlalu banyak air mata yang tertampung di kelopak ini. Aku tak mampu membendungnya. Aku hanya membiarkannya tumpah membasahi wajahku.

"Nama saya Adiba, Ustadz. Dan saya menyukai Ustadz."

Rabu, 30 Juli 2014

Balada Pesantren Kilat: Tidak Mungkin Aku Baru Tau

If I say I love you, will you stay?

"Lagian lo sih, udah dibilangin jangan masuk malah masuk"

Ingatkah kalian bahwa aku masuk menuju kamar mandi terdekat dan keluar dalam keadaan dihadang oleh sesosok lelaki jangkung yang, tampan? Pertama kali melihatnya, aku memang sedikit terpesona. Hm, sebenarnya lumayan terpesona sih. Tapi kemudian pikiranku melayang kemana-mana karena posisinya yang tepat di depan pintu kamar mandi yang aku masuki.

Jangan-jangan dia ngintipin aku, lagi.

Dengan penuh keberanian, aku berkata "L-lo ngintipin gue ya? Liat apa aja lo tadi?". Laki-laki itu hanya tersenyum sambil menunjuk ke atas pintu. "KAMAR MANDI PUTRA"

O M G.

Lelaki itu tersenyum. "Adek salah masuk kamar mandi. Ini kamar mandi untuk laki-laki. Kalau yang untuk perempuan tempatnya disana". Dia menunjuk ke arah seberang sana. Sepertinya wajahku memerah seketika tau bahwa ternyata aku yang salah. Setelah meminta maaf, aku pergi mencari dimana gerangan Nami berada.

Kemana perginya Nami? Rupanya dia pergi ke kamar mandi putri karena takut menunggu di depan kamar mandi putra. Takut ketahuan Ustad terus dimarahi, katanya. Well, aku maafkan dia kali ini.

"Yah habis mau gimana lagi, Nam? Namanya juga kebelet pasti langsung nyelonong ke kamar mandi terdekat, lah"

Lengang sejenak.

"Eh Nam, yang tadi nunggu di depan kamar mandi gue itu siapa sih?"

"Oh. Dia itu santri alumni yang ngabdi di sini. Baru lulus tahun kemarin kalo gue gak salah."

Merupakan sebuah kemajuan yang hebat kalau seorang Nami lebih dulu mengetahui hal yang belum aku tau. "Kok lo tau?"

Dia berdeham. "Hellow, kan tiap jam kosong kita selalu ngomongin dia. Emangnya lo tidur aja kerjaannya gak beda jauh sama Anis". Dalam hati aku sedikit menyesal karena tidak ikut bergosip ria dengan yang lain ketika jam kosong. Tapi hei, bukannya tidur itu lebih baik dari melakukan sesuatu yang tidak bermanfaat seperti bergosip?

Yah, sayangnya dia tidak pernah mengajar di kelas kami. Setidaknya, belum. Dan memang benar teman-temanku membicarakan dia selalu. Yang aku tidak habis pikir adalah, kenapa aku sampai tidak tahu?

"Itu karena lo gak menikmati hidup disini, Ba", ucap Ziya. Dia mengerling. "Dibawa enjoy aja". Kalimat ini ada benarnya juga. Sejak awal aku memang tidak bersemangat mengikuti kegiatan ini. Saking tidak semangatnya sampai-sampai dianggap tidak enak badan oleh teman-temanku.

"Dan lo baru tau sekarang, Ba? Kudet kudet".

"Gak asik lo Ba".

"Udah banyak lho yang suka sama dia".

"Dan lo baru tau sekarang, Ba? Kudet kudet".

"Lo sih tidur mulu kerjaannya".

"Makanya jangan keseringan tidur".

"Dan lo baru tau sekarang, Ba? Kudet kudet".

"Lo udah tiga kali ngomong gitu, Nam", kataku pada akhirnya setelah terdiam cukup lama.

"Sekarang giliran gue tanya sama lo: kenapa lo sepanjang hari ini tanya-tanya mulu tentang Ustad pengabdian itu?", Anis menginterogasi. Seakan lampu dihadapkan ke arahku, aku tidak bisa berkutik banyak.

Lengang sejenak.

"Jawab, Ba."

"Y-yah kan secara gue baru tau tentang itu Ustad. Gak salah kan kalo gue cari informasi?"

Teman-temanku menatapku tidak percaya.

Dalam pertemanan kami, cinta adalah masalah yang krusial. Bisa dikatakan kami adalah orang-orang yang terlambat mengalami pubertas sehingga tidak begitu memahami cinta.

"Jangan-jangan..."

"Lo jatuh cinta ya, Ba?"

Oh, damn.

Balada Pesantren Kilat: Where Did You Fall Down From, My Angel?

Ah, kejadian waktu itu tidak mungkin akan terulang, ya 'kan?

"Males ah. Pesantren kilatnya gak asik", ucapku tiba-tiba. Saat itu pelajaran pertama telah usai. Kami sedang menunggu pengajar masuk mengajar pelajaran sejarah Kenabian.

"Think positively aja Ba, kalo lo ngeluh mulu percuma 5 hari lo sia-siain disini", Anis menasihati.

"Tuh dengerin calon ustadzah lagi ceramah", timpal Nami. Tas sekolah Anis melayang ke arahnya seketika. Aku dan Ziya hanya tertawa cekikikan melihat tingkah mereka yang konyol. Kejadian selanjutnya dipenuhi oleh kami yang bercanda-tawa-riang-gembira-di-dalam-kelas.

"Salah sendiri siapa suruh debat sama Adiba. Adiba kan gak pernah kalah debat", ucapanku menimbulkann riuh rendah Anis, Nami, dan Ziya. Tidak lama setelah itu, Ustadzah Nia masuk ke kelas kami.

Dan jadilah aku belajar ditengah kejenuhan dan rasa lapar yang tiada tara ini.

"Capek", aku merebahkan diri di ranjang sesampainya di kamar. Kami mendapat pinjaman kasur dari Ponpes ini. Kebetulan jumlah anak di angkatan kami memang sedikit, kurang dari 140 anak. Jadi Ponpes ini dapat menyediakan kasur untuk kami. Tidak seperti tahun kakak tingkat kami yang sekarang menginjak kelas XI, dimana masing-masing dari mereka diharuskan membawa alas tidur atau sleeping bag karena jumlah mereka yang terlalu banyak, sekitar 200 orang lebih kalau aku tidak salah. Yah, angkatan kami memang terkenal yang paling sedikit anak-anaknya, jadi begitulah.

Kenapa aku jadi ngomongin angkatan gini, sih?

Oke, back to topic.

Hari itu rasanya berat sekali. Aku hanya mengeluh dan mengeluh tiada henti selama kelas berlangsung. Aku mulai memejamkan mataku ketika adzan Dzuhur berkumandang,

"ADIBA JANGAN TIDUR!!!", Ziya berteriak tepat di telingaku. Sontak aku membuka mataku dan terduduk kaget. Dia tertawa seperti iblis yang berhasil menggoda manusia untuk berbuat maksiat. Lihat saja nanti. Akan kubalas perbuatannya.

"Siap-siap ke masjid Ba, mumpung ada disini kapan lagi kita bisa ke masjid?", Nona Sok Bersih Nami berbicara.

"Tapi tadi kata Ustadzah Mila semua tanah itu masjid", aku mengelak, mencari-cari alasan agar tidak ke masjid.

"Yah masih ngeles juga nih anak", Anis menghampiriku dan memegang keningku, lalu berkomat-kamit tidak jelas.

"Lo ngapain, Nis?". Anis hanya mengisyaratkan jari telunjuknya untuk menyuruh kami diam. Wajahnya sangat dekat dengan wajahku, sampai-sampai aku bisa melihat komedonya dan sangat kentara kalau dia hanya berpura-pura konsentrasi.

Selesainya menyentuh keningku, dia berkata "Habis ngerukyah nih anak" dengan polosnya. Sedetik kemudian terjadilah baku hantam antara aku dan Anis. Nami dan Ziya yang menyaksikan kami saling adu kekuatan dan elemen yang sedari lama sudah kami latih hanya berteriak "Stop!" kencang sekali. Tapi suara mereka tertelan begitu saja oleh riuhnya suara angin yang tercipta akibat pergulatanku dengan Anis.

Dan sedetik itu juga, aku tersadar dari lamunanku.

"Iye iye gue ke masjid", dengan lunglai aku melangkahkan kakiku menuju kamar mandi untuk berwudhu sebelum melaksanakan Shalat Dhuhur. Selama perjalanan menuju masjid aku memikirkan strategi untuk membalas kejahilan-kejahilan yang sudah mereka lakukan padaku hari ini. Setelah Shalat Dhuhur kami melaksanakan kegiatan tadarus di masjid. Memang sudah menjadi program di Pesantren Kilat tahun ini bahwa intensitas membaca kitab suci Al-Qur'an ditingkatkan agar "berkah di Bulan Ramadhan tahun ini lebih terasa daripada tahun-tahun sebelumnya", setidaknya begitu kata wali kelasku Pak Ali.

Jujur, sejak Shalat rakaat terakhir aku sudah ingin buang air kecil. Dan 10 menit sudah aku menahan hasrat ingin pipis ini. Ziya hanya sedikit menoleh dan berucap "hm" setelah aku berkata "anterin gue pipis yuk". Rupanya dia sedang berkonsentrasi mengaji. Anispun memberikan respon yang tidak jauh berbeda dari Ziya. Hanya Nami yang mengiyakan ajakanku. Jadilah kami berdua ke kamar mandi.

"Adiba, jangan masuuuuk!", bisik Nami. Tapi terlambat. Aku sudah sudah buru-buru masuk ke kamar mandi terdekat dan menuntaskan "kewajibanku". Sekeluarnya aku dari kamar mandi, aku dihadapkan oleh sesosok yang jangkung...

Memiliki muka yang datar dan kadang menyebalkan...

Tapi, dia juga tampan.

Oh no, he's catching my eye. And my heart, absolutely.

Where did you fall down from, my angel?

Sabtu, 26 Juli 2014

Pernah Gak Sih?

Pernah gak sih kalian merasa gagal waktu orang lain berhasil mendapat apa yang kalian mau? Pernah gak sih kalian mengkhayalkan sesuatu yang indah tapi sesuatu itu malah terjadi sama orang lain? Pernah gak sih kalian lagi butuh banget sesuatu tapi sesuatu itu gak datang juga alih-alih malah datang disaat kalian gak membutuhkannya? Pernah gak sih kalian mikir, "Kapan ya gue bisa pinter/cantik kayak dia?"? Pernah juga gak kalian suka sama orang tapi orang itu gak ngerespon? Pernah gak kalian punya stalker yang kerjaannya tiap hari chat kalian di facebook atau selalu mention kalian di twitter dan stalker itu bukan orang yang "kalian mau"? Pernah gak kalian mendadak jadi galau cuma gara-gara timeline twitter isinya temen-temen deket kalian pas SMP pada bahas sesuatu yang kalian gak tahu karena kalian udah beda sekolah sama mereka?  Pernah gak sih kalian tiba-tiba sadar akan suatu hal secara tiba-tiba dan itu bener-bener membuka jalan pikiran kalian? Pernah gak sih kalian merenung, membayangkan sesuatu yang indah bagi kalian tapi kalian tahu itu gak akan pernah terwujud karena khayalan itu terlalu tinggi bagi kalian?

Pernah gak sih?

Anyway, gue udah pernah ngalamin itu semua. Dan karena itu juga hidup gue jadi berwarna.

Hubungannya Jodoh Dengan Diet

Akhir-akhir ini saya baru tersadar akan suatu hal, yang mana saya sudah tahu hal itu dari lama tapi baru benar-benar memahaminya sekarang:

Cinta sejati tidak datang dari pasangan yang sempurna. Ini adalah masalah hati dan takdir tentunya. Biarlah Tangan Tuhan yang bekerja kalau masalah jodoh-menjodohi, kita tidak punya kuasa apa-apa untuk mengubahnya apalagi menyalahinya. Seseorang pernah berkata, "Duduklah. Cinta adalah seorang pengelana. Dia pasti akan menghampirimu tanpa kamu perlu untuk mencarinya." Bagaimanapun ini memang benar. Terkadang kamu tidak akan menemukan cinta (yang sesungguhnya) kalau kamu mencarinya meski ke ujung dunia sekalipun. Hm, perkataan orang-orang yang memahami Qur'an dan Sunnah memang jarang salah.

Masih berhubungan dengan cinta. Jadi pada intinya jodoh sudah ditangan Tuhan tanpa kita bisa mengubah apalagi menyalahinya. Berarti bagaimnapun nantinya pasangan hidup kita pasti menerima kita apa adanya kan? Termasuk bentuk fisik kita kan? Iya kan? IYA KAN!?

Ehem.

Sebagai calon orang kurus yang gagal cukup berhasil melakukan diet, saya cukup senang dengan pemikiran ini. Karena itu berarti saya tidak perlu lagi menjalani diet ketat, toh juga nanti saya dapat jodoh kan? Sebenarnya niat diet tiap orang itu beda-beda, apalagi wanita. Tapi menurut sebuah riset yang hm, cukup terpercaya, 7 dari 10 wanita berdiet demi mendapatkan pasangan. Menyalahi takdir? Tidak. Itu adalah usaha menurut saya, tapi belum termasuk menyalahi takdir. Jadi untuk para wanita yang saat ini sedang berjuang keras melakukan diet demi mendapatkan pasangan, saya punya kabar gembira untuk kalian semua. Kulit manggis kini ada ekstraknya. Karena kalian tidak perlu bersusah payah berdiet demi mendapat pasangan. Hanya jagalah pola makan kalian seperti sabda Rasul:

"Makanlah setelah lapar dan berhentilah sebelum kenyang."

Terlalu sulit? Itulah mengapa saya katakan tidak perlu bersusah payah melakukan diet. Berdietlah tapi jangan terlalu ketat, oke?

Akan tetapi, tidak mengubah diri kita juga berarti tidak mengubah kepribadian buruk kita. Tidak, teman. Anda salah. Justru kepribadian kitalah yang menentukan seperti apa jodoh kita nantinya. Seperti yang tertulis di Qur'an, yang maknanya:

"Wanita yang keji tercipta untuk lelaki yang keji. Wanita yang baik tercipta untuk lelaki yang baik. Lelaki yang keji tercipta untuk wanita yang keji. Dan lelaki yang baik tercipta untuk wanita yang baik pula."

Jadi untuk anda-anda semua (terutama yang diet) jangan badan mulu yang diurusin, tapi akhlak sama otak juga. Karena bagaimanapun yang dibawa sampai akhirat nanti adalah jiwa kita. Soal bentuk tubuh kita itu tergantung dari amalan apa aja yang udah kita perbuat. Kalau selama di dunia kita taat sama agama dan selalu berbuat kebaikan, Inshaa Allah nanti Yang Maha Kuasa juga akan memberi apa yang kita inginkan. Wallahu a'alam bisshowab.

Dari sini saya bisa menarik satu kesimpulan bahwa untuk mendapat pasangan yang pas sama kita ukuran tubuh adalah persyaratan yang kesekian. Kita tidak begitu butuh bentuk tubuh yang bagus, saudara-saudara. Karena kalau jodoh sudah mencintai kita bentuk tubuh bukanlah segalanya. Tapi itu *nunjuk hati* yang dibutuhkan, benar-benar dibutuhkan. Yah begitulah. Juga, jodoh itu gak akan kemana kok. Apa yang udah digariskan sama Tuhan itu pasti yang terindah buat kita. Syukuri saja, kawan.

Sekian.

NB: tidak ada maksud untuk menggurui. Hanya share :)

Jumat, 18 Juli 2014

Balada Pesantren Kilat : Hari Pertama

Masih terbayang jelas wajahmu saat aku pertama melihatmu.

"Cieee yang lagi jatuh cintaaa", Nami, Anis, dan Ziya menertawaiku. Yah memang, laki-laki yang aku kusukai ini berbeda dari pria-pria sebelumnya yang pernah aku sukai. Dia bukan pemain basket seperti Niko. Dia juga bukan ketua OSIS seperti Reza. Dan dia juga bukan seorang komikus seperti Arta. Tidak, dia SANGAT BERBEDA dari laki-laki lain yang pernah kujumpai.

"Eh, tapi kemungkinan lo pacaran kecil banget dong, Ba. Dia kan...", Nami tidak menyelesaikan kalimatnya karena dia sudah terlanjur tertawa. Dan biasanya kalau sudah tertawa susah sekali bagi Nami untuk menghentikannya.

"So what's wrong? Gak ada salahnya kan suka sama cowok macem dia? Sekali-kali be different-lah", belaku. Terkadang sahabat bisa jadi sangat menyebalkan.

Anis-lah yang paling pertama berhasil menyelesaikan tawanya. "Udah... Udah, gak usah diperpanjang. Mungkin emang saat ini Adiba lagi pingin 'cari' yang beda. Selera kan bisa berubah, ya nggak Ba?"

"Bener banget tuh makanya kalian gak usah deh ngetawain gue ntar kalian kena batunya sendiri aja awas lo!". Dalam hati aku berterimakasih pada Anis dan melaknat Nami dan Ziya yang masih tertawa. Bahkan Ziya mulai meneteskan air mata saking 'lucunya'.

Huh, menyebalkan.

***
Semua bermula dari acara tahunan yang selalu diadakan sekolah kami setiap bulan Ramadhan. Yap, pesantren kilat. Dan seperti tahun-tahun sebelumnya pula, pesantren kilat selalu diadakan di Pondok Pesantren "AS-SHAHIH" yang lokasinya memang tidak begitu jauh dari sekolah kami. Biasanya kami menginap disana selama 5 hari untuk digembleng pengetahuan agamanya. Pengajarnya bisa Ustadz, Ustadzah, ataupun santri yang dinilai oleh Asatidz (sebutan untuk Ustadz/Ustadzah dalam jumlah banyak. Sama saja dengan 'Teachers' dalam Bahasa Inggris atau 'para Guru' dalam Bahasa Indonesia) memiliki pemahaman agama diatas rata-rata santri yang lain (mungkin ilmu agamanya hampir menyamai ilmunya Ustadz, whatever). Selama 5 hari itu pula kami mempelajari kehidupan di pondok pesantren mulai dari antri makan, mandi, pun kencing kadang kita mengantri. Menyebalkan memang, tapi aku sedikit bersyukur karena Ponpes ini lebih bersih dan rapi daripada ponpes-ponpes yang lain. Well, setidaknya.

Kami menempati kamar-kamar kosong yang sudah disediakan oleh ponpes ini. Ya, ponpes ini memang sudah memulangkan para santrinya pada pertengahan Ramadhan kemarin, 2 hari yang lalu lebih tepatnya. Jadi di ponpes ini hanya tersisa Asatidz yang memang tinggal di ponpes ini dan beberapa santri yang bermukim sampai lebaran. Nah, santri yang mukim inilah yang biasanya mengajar kami selama pesantren kilat berlangsung.

Hari pertama pesantren kilat, sangat membosankan. Bahkan aku sempat dibangunkan oleh Ustadzah yang mengajar kami waktu itu karena aku tertidur. Alhasil karena kejadian itu teman-teman sekelaskupun tertawa.

Dan ini bukanlah permulaan yang menyenangkan, kau tahu.

"Ba, tidur gih. Lo keliatan gak fit sih hari ini?", Nami bertanya.

"Hm? Gue gak pa-pa kok. Cuma kecapekan dikit aja"

"Muka lo pucat loh. Mending lo batalin puasa lo deh"

"Bener tuh kata Nami. Terus lo minta obat di UKP", timpal Ziya. FYI, UKP adalah kepanjangan dari Unit Kesehatan Pondok. Kalo di sekolah non-asrama biasa mennyebutnya UKS.

"Iya kita anter lo ke UKP, ya?"

"Lebay banget sih lo pada. Gue gak pa-pa kok. Lagian kalo mau batalin juga nanggung udah sore kek gini"