Ah, kejadian waktu itu tidak mungkin akan terulang, ya 'kan?
"Males ah. Pesantren kilatnya gak asik", ucapku tiba-tiba. Saat itu pelajaran pertama telah usai. Kami sedang menunggu pengajar masuk mengajar pelajaran sejarah Kenabian.
"Think positively aja Ba, kalo lo ngeluh mulu percuma 5 hari lo sia-siain disini", Anis menasihati.
"Tuh dengerin calon ustadzah lagi ceramah", timpal Nami. Tas sekolah Anis melayang ke arahnya seketika. Aku dan Ziya hanya tertawa cekikikan melihat tingkah mereka yang konyol. Kejadian selanjutnya dipenuhi oleh kami yang bercanda-tawa-riang-gembira-di-dalam-kelas.
"Salah sendiri siapa suruh debat sama Adiba. Adiba kan gak pernah kalah debat", ucapanku menimbulkann riuh rendah Anis, Nami, dan Ziya. Tidak lama setelah itu, Ustadzah Nia masuk ke kelas kami.
Dan jadilah aku belajar ditengah kejenuhan dan rasa lapar yang tiada tara ini.
"Capek", aku merebahkan diri di ranjang sesampainya di kamar. Kami mendapat pinjaman kasur dari Ponpes ini. Kebetulan jumlah anak di angkatan kami memang sedikit, kurang dari 140 anak. Jadi Ponpes ini dapat menyediakan kasur untuk kami. Tidak seperti tahun kakak tingkat kami yang sekarang menginjak kelas XI, dimana masing-masing dari mereka diharuskan membawa alas tidur atau sleeping bag karena jumlah mereka yang terlalu banyak, sekitar 200 orang lebih kalau aku tidak salah. Yah, angkatan kami memang terkenal yang paling sedikit anak-anaknya, jadi begitulah.
Kenapa aku jadi ngomongin angkatan gini, sih?
Oke, back to topic.
Hari itu rasanya berat sekali. Aku hanya mengeluh dan mengeluh tiada henti selama kelas berlangsung. Aku mulai memejamkan mataku ketika adzan Dzuhur berkumandang,
"ADIBA JANGAN TIDUR!!!", Ziya berteriak tepat di telingaku. Sontak aku membuka mataku dan terduduk kaget. Dia tertawa seperti iblis yang berhasil menggoda manusia untuk berbuat maksiat. Lihat saja nanti. Akan kubalas perbuatannya.
"Siap-siap ke masjid Ba, mumpung ada disini kapan lagi kita bisa ke masjid?", Nona Sok Bersih Nami berbicara.
"Tapi tadi kata Ustadzah Mila semua tanah itu masjid", aku mengelak, mencari-cari alasan agar tidak ke masjid.
"Yah masih ngeles juga nih anak", Anis menghampiriku dan memegang keningku, lalu berkomat-kamit tidak jelas.
"Lo ngapain, Nis?". Anis hanya mengisyaratkan jari telunjuknya untuk menyuruh kami diam. Wajahnya sangat dekat dengan wajahku, sampai-sampai aku bisa melihat komedonya dan sangat kentara kalau dia hanya berpura-pura konsentrasi.
Selesainya menyentuh keningku, dia berkata "Habis ngerukyah nih anak" dengan polosnya. Sedetik kemudian terjadilah baku hantam antara aku dan Anis. Nami dan Ziya yang menyaksikan kami saling adu kekuatan dan elemen yang sedari lama sudah kami latih hanya berteriak "Stop!" kencang sekali. Tapi suara mereka tertelan begitu saja oleh riuhnya suara angin yang tercipta akibat pergulatanku dengan Anis.
Dan sedetik itu juga, aku tersadar dari lamunanku.
"Iye iye gue ke masjid", dengan lunglai aku melangkahkan kakiku menuju kamar mandi untuk berwudhu sebelum melaksanakan Shalat Dhuhur. Selama perjalanan menuju masjid aku memikirkan strategi untuk membalas kejahilan-kejahilan yang sudah mereka lakukan padaku hari ini. Setelah Shalat Dhuhur kami melaksanakan kegiatan tadarus di masjid. Memang sudah menjadi program di Pesantren Kilat tahun ini bahwa intensitas membaca kitab suci Al-Qur'an ditingkatkan agar "berkah di Bulan Ramadhan tahun ini lebih terasa daripada tahun-tahun sebelumnya", setidaknya begitu kata wali kelasku Pak Ali.
Jujur, sejak Shalat rakaat terakhir aku sudah ingin buang air kecil. Dan 10 menit sudah aku menahan hasrat ingin pipis ini. Ziya hanya sedikit menoleh dan berucap "hm" setelah aku berkata "anterin gue pipis yuk". Rupanya dia sedang berkonsentrasi mengaji. Anispun memberikan respon yang tidak jauh berbeda dari Ziya. Hanya Nami yang mengiyakan ajakanku. Jadilah kami berdua ke kamar mandi.
"Adiba, jangan masuuuuk!", bisik Nami. Tapi terlambat. Aku sudah sudah buru-buru masuk ke kamar mandi terdekat dan menuntaskan "kewajibanku". Sekeluarnya aku dari kamar mandi, aku dihadapkan oleh sesosok yang jangkung...
Memiliki muka yang datar dan kadang menyebalkan...
Tapi, dia juga tampan.
Oh no, he's catching my eye. And my heart, absolutely.
Where did you fall down from, my angel?
"Males ah. Pesantren kilatnya gak asik", ucapku tiba-tiba. Saat itu pelajaran pertama telah usai. Kami sedang menunggu pengajar masuk mengajar pelajaran sejarah Kenabian.
"Think positively aja Ba, kalo lo ngeluh mulu percuma 5 hari lo sia-siain disini", Anis menasihati.
"Tuh dengerin calon ustadzah lagi ceramah", timpal Nami. Tas sekolah Anis melayang ke arahnya seketika. Aku dan Ziya hanya tertawa cekikikan melihat tingkah mereka yang konyol. Kejadian selanjutnya dipenuhi oleh kami yang bercanda-tawa-riang-gembira-di-dalam-kelas.
"Salah sendiri siapa suruh debat sama Adiba. Adiba kan gak pernah kalah debat", ucapanku menimbulkann riuh rendah Anis, Nami, dan Ziya. Tidak lama setelah itu, Ustadzah Nia masuk ke kelas kami.
Dan jadilah aku belajar ditengah kejenuhan dan rasa lapar yang tiada tara ini.
"Capek", aku merebahkan diri di ranjang sesampainya di kamar. Kami mendapat pinjaman kasur dari Ponpes ini. Kebetulan jumlah anak di angkatan kami memang sedikit, kurang dari 140 anak. Jadi Ponpes ini dapat menyediakan kasur untuk kami. Tidak seperti tahun kakak tingkat kami yang sekarang menginjak kelas XI, dimana masing-masing dari mereka diharuskan membawa alas tidur atau sleeping bag karena jumlah mereka yang terlalu banyak, sekitar 200 orang lebih kalau aku tidak salah. Yah, angkatan kami memang terkenal yang paling sedikit anak-anaknya, jadi begitulah.
Kenapa aku jadi ngomongin angkatan gini, sih?
Oke, back to topic.
Hari itu rasanya berat sekali. Aku hanya mengeluh dan mengeluh tiada henti selama kelas berlangsung. Aku mulai memejamkan mataku ketika adzan Dzuhur berkumandang,
"ADIBA JANGAN TIDUR!!!", Ziya berteriak tepat di telingaku. Sontak aku membuka mataku dan terduduk kaget. Dia tertawa seperti iblis yang berhasil menggoda manusia untuk berbuat maksiat. Lihat saja nanti. Akan kubalas perbuatannya.
"Siap-siap ke masjid Ba, mumpung ada disini kapan lagi kita bisa ke masjid?", Nona Sok Bersih Nami berbicara.
"Tapi tadi kata Ustadzah Mila semua tanah itu masjid", aku mengelak, mencari-cari alasan agar tidak ke masjid.
"Yah masih ngeles juga nih anak", Anis menghampiriku dan memegang keningku, lalu berkomat-kamit tidak jelas.
"Lo ngapain, Nis?". Anis hanya mengisyaratkan jari telunjuknya untuk menyuruh kami diam. Wajahnya sangat dekat dengan wajahku, sampai-sampai aku bisa melihat komedonya dan sangat kentara kalau dia hanya berpura-pura konsentrasi.
Selesainya menyentuh keningku, dia berkata "Habis ngerukyah nih anak" dengan polosnya. Sedetik kemudian terjadilah baku hantam antara aku dan Anis. Nami dan Ziya yang menyaksikan kami saling adu kekuatan dan elemen yang sedari lama sudah kami latih hanya berteriak "Stop!" kencang sekali. Tapi suara mereka tertelan begitu saja oleh riuhnya suara angin yang tercipta akibat pergulatanku dengan Anis.
Dan sedetik itu juga, aku tersadar dari lamunanku.
"Iye iye gue ke masjid", dengan lunglai aku melangkahkan kakiku menuju kamar mandi untuk berwudhu sebelum melaksanakan Shalat Dhuhur. Selama perjalanan menuju masjid aku memikirkan strategi untuk membalas kejahilan-kejahilan yang sudah mereka lakukan padaku hari ini. Setelah Shalat Dhuhur kami melaksanakan kegiatan tadarus di masjid. Memang sudah menjadi program di Pesantren Kilat tahun ini bahwa intensitas membaca kitab suci Al-Qur'an ditingkatkan agar "berkah di Bulan Ramadhan tahun ini lebih terasa daripada tahun-tahun sebelumnya", setidaknya begitu kata wali kelasku Pak Ali.
Jujur, sejak Shalat rakaat terakhir aku sudah ingin buang air kecil. Dan 10 menit sudah aku menahan hasrat ingin pipis ini. Ziya hanya sedikit menoleh dan berucap "hm" setelah aku berkata "anterin gue pipis yuk". Rupanya dia sedang berkonsentrasi mengaji. Anispun memberikan respon yang tidak jauh berbeda dari Ziya. Hanya Nami yang mengiyakan ajakanku. Jadilah kami berdua ke kamar mandi.
"Adiba, jangan masuuuuk!", bisik Nami. Tapi terlambat. Aku sudah sudah buru-buru masuk ke kamar mandi terdekat dan menuntaskan "kewajibanku". Sekeluarnya aku dari kamar mandi, aku dihadapkan oleh sesosok yang jangkung...
Memiliki muka yang datar dan kadang menyebalkan...
Tapi, dia juga tampan.
Oh no, he's catching my eye. And my heart, absolutely.
Where did you fall down from, my angel?
Tidak ada komentar:
Posting Komentar