Kaki itu melangkah dengan cepat. Hujan yang mulai membasahi tubuhnya tidak menjadi penghalang baginya. Jam menunjukkan pukul 5.38 petang.
Bentar lagi maghrib, batinnya.
Dia berjalan semakin cepat, tidak memperdulikan cipratan-cipratan air yang mulai mengotori celananya akibat ulahnya itu. Waktunya tinggal dua menit sebelum bis yang akan ia tumpangi pergi. Sedangkan bis selanjutnya baru datang 20 menit lagi.
Akhirnya dia berhasil masuk tepat sebelum pintu bis ditutup. Suasana bis sangat mendukung cuaca petang itu. Dingin, sepi, dan agak gelap. Penerangan di bis ini agak buruk rupanya. Lelaki itu memilih duduk di dekat jendela yang menghadap ke jalan raya. Pikirannya melayang, jauh menerawang kejadian masa itu.
Masa ketika dia akan melanjutkan studinya ke Madinah...
Masa dimana ia mengabdi di Pondok tercintanya...
Masa ketika dia bertemu dengan orang itu..
Ah, masa itu, pikir Darma.
"Kamu tahu? Saya sangat ingin membahagiakan orang yang saya sangat sayangi dengan cara saya sendiri... Tapi yang saya takutkan, orang itu menilai sebaliknya. Saya takut mengecewakan dia."
"Kalau boleh tahu, orang itu siapa, Ustadz?"
"Ibu."
"Saya cuma berharap, semoga dia sabar menunggu saya".
Memang dia tidak salah waktu itu. Ibu. Bukan ibu tiri bukan ibu susuan. Bukan pula ibu kandungnya, mengingat dia sudah kehilangan ibunya saat dia berumur 4 tahun. Tidak. Yang dia maksudkan adalah ibu dari anak-anaknya kelak.
Istrinya kelak.
Dan entah mengapa, dia merasa sangat yakin bahwa lawan bicaranya waktu itu adalah wanita yang kelak akan menjadi ibu bagi anak-anaknya.
"Ustadz?"
"Hm?"
"Sukses ya, Tadz. Semoga Ustadz selalu berada di bawah lindungan-Nya."
Darma tertegun. Baru kali ini dia disemangati oleh seorang wanita. Wajahnya merah seketika. Pipinya merona bersemburat kemerahan. Lidahnya terlalu kelu untuk mengucapkan "Syukron". Dia tidak tahu harus berbuat apa.
Dan untuk yang kesekian kalinya, hening kembali.
Darma menghembuskan napasnya perlahan, berusaha menstabilkan detak jantungnya yang bergedup tidak karuan. Dia ingin segera mengakhiri ini semua. Tidak sepantasnya mereka berduaan di tempat sepi. Tempatnya di Pondok, lagi.
Darma menghembuskan napasnya lagi.
"Walaupun saya tidak tahu siapa nama kamu, tapi saya punya satu pesan buat kamu."
Sebelum mengatakannya, Darma menghembuskan napasnya kembali.
"Jangan pacaran, ya."
Kemudian dia melangkah pergi.
Dia berharap, sangat berharap, bahwa lawan bicaranya waktu itu dapat memahaminya... Karena diluar kesadaran Darma waktu itu, dia telah mengecewakannya.
Bagi Darma itu adalah masa dimana ia sendiripun tidak mengerti mengapa itu terjadi...
Bis berhenti di halte yang tidak jauh dari rumahnya. Badannya terlalu lemas untuk bangkit dan bergerak turun dari bis, tapi dia tahu kalau ingin cepat sampai rumah dia harus menggerakkan badannya meskipun itu harus dengan merangkak. Saking dinginnya udara diluar bis sampai-sampai Darma seperti merasakan tulangnya mulai membeku. Dalam hati ia berjanji akan mandi dengan air hangat begitu sesampainya di rumah.
Turun dari bis, tatapan Darma bertemu dengan seseorang yang berdiri tepat di depannya. Mereka hanya saling tatap, tanpa tahu harus berbuat apa. Suasana hening sejenak. Nyaris sama seperti kejadian di masa itu. Hanya saja, hening yang satu ini tidak sedingin hening di masa itu.
Darma merasa lebih hangat menatap mata wanita itu.
"Kamu, jemput aku?", tanya Darma tidak yakin.
"Ya iyalah, masa jemput supirnya", balasnya. Wanita itu tersenyum menatapnya. Darma turut tersenyum. "Pulang, yuk. Aku udah nyiapin air panas buat kamu mandi". Dibawah naungan payung, mereka berjalan pulang menuju rumah mereka.
Darma selalu berdoa, agar calon istrinya kelak dihindarkan dari segala macam perbuatan maksiat.
Sejak kejadian di masa itu, Adiba tidak pernah berpacaran hingga dia menikah dengan Darma.
Bentar lagi maghrib, batinnya.
Dia berjalan semakin cepat, tidak memperdulikan cipratan-cipratan air yang mulai mengotori celananya akibat ulahnya itu. Waktunya tinggal dua menit sebelum bis yang akan ia tumpangi pergi. Sedangkan bis selanjutnya baru datang 20 menit lagi.
Akhirnya dia berhasil masuk tepat sebelum pintu bis ditutup. Suasana bis sangat mendukung cuaca petang itu. Dingin, sepi, dan agak gelap. Penerangan di bis ini agak buruk rupanya. Lelaki itu memilih duduk di dekat jendela yang menghadap ke jalan raya. Pikirannya melayang, jauh menerawang kejadian masa itu.
Masa ketika dia akan melanjutkan studinya ke Madinah...
Masa dimana ia mengabdi di Pondok tercintanya...
Masa ketika dia bertemu dengan orang itu..
Ah, masa itu, pikir Darma.
"Kamu tahu? Saya sangat ingin membahagiakan orang yang saya sangat sayangi dengan cara saya sendiri... Tapi yang saya takutkan, orang itu menilai sebaliknya. Saya takut mengecewakan dia."
"Kalau boleh tahu, orang itu siapa, Ustadz?"
"Ibu."
"Saya cuma berharap, semoga dia sabar menunggu saya".
Memang dia tidak salah waktu itu. Ibu. Bukan ibu tiri bukan ibu susuan. Bukan pula ibu kandungnya, mengingat dia sudah kehilangan ibunya saat dia berumur 4 tahun. Tidak. Yang dia maksudkan adalah ibu dari anak-anaknya kelak.
Istrinya kelak.
Dan entah mengapa, dia merasa sangat yakin bahwa lawan bicaranya waktu itu adalah wanita yang kelak akan menjadi ibu bagi anak-anaknya.
"Ustadz?"
"Hm?"
"Sukses ya, Tadz. Semoga Ustadz selalu berada di bawah lindungan-Nya."
Darma tertegun. Baru kali ini dia disemangati oleh seorang wanita. Wajahnya merah seketika. Pipinya merona bersemburat kemerahan. Lidahnya terlalu kelu untuk mengucapkan "Syukron". Dia tidak tahu harus berbuat apa.
Dan untuk yang kesekian kalinya, hening kembali.
Darma menghembuskan napasnya perlahan, berusaha menstabilkan detak jantungnya yang bergedup tidak karuan. Dia ingin segera mengakhiri ini semua. Tidak sepantasnya mereka berduaan di tempat sepi. Tempatnya di Pondok, lagi.
Darma menghembuskan napasnya lagi.
"Walaupun saya tidak tahu siapa nama kamu, tapi saya punya satu pesan buat kamu."
Sebelum mengatakannya, Darma menghembuskan napasnya kembali.
"Jangan pacaran, ya."
Kemudian dia melangkah pergi.
Dia berharap, sangat berharap, bahwa lawan bicaranya waktu itu dapat memahaminya... Karena diluar kesadaran Darma waktu itu, dia telah mengecewakannya.
Bagi Darma itu adalah masa dimana ia sendiripun tidak mengerti mengapa itu terjadi...
Bis berhenti di halte yang tidak jauh dari rumahnya. Badannya terlalu lemas untuk bangkit dan bergerak turun dari bis, tapi dia tahu kalau ingin cepat sampai rumah dia harus menggerakkan badannya meskipun itu harus dengan merangkak. Saking dinginnya udara diluar bis sampai-sampai Darma seperti merasakan tulangnya mulai membeku. Dalam hati ia berjanji akan mandi dengan air hangat begitu sesampainya di rumah.
Turun dari bis, tatapan Darma bertemu dengan seseorang yang berdiri tepat di depannya. Mereka hanya saling tatap, tanpa tahu harus berbuat apa. Suasana hening sejenak. Nyaris sama seperti kejadian di masa itu. Hanya saja, hening yang satu ini tidak sedingin hening di masa itu.
Darma merasa lebih hangat menatap mata wanita itu.
"Kamu, jemput aku?", tanya Darma tidak yakin.
"Ya iyalah, masa jemput supirnya", balasnya. Wanita itu tersenyum menatapnya. Darma turut tersenyum. "Pulang, yuk. Aku udah nyiapin air panas buat kamu mandi". Dibawah naungan payung, mereka berjalan pulang menuju rumah mereka.
Darma selalu berdoa, agar calon istrinya kelak dihindarkan dari segala macam perbuatan maksiat.
Sejak kejadian di masa itu, Adiba tidak pernah berpacaran hingga dia menikah dengan Darma.